Sang Empu membiarkan dirinya hanyut dalam suasana yang maha agung itu. Tiba-tiba penglihatan batinnya melihat segala itu terjadi dengan jelas.
Dia melihat suatu tempat yang juga bukan dapat dinamakan tempat tertentu, bentuknya tidak dapat direka atau dikenal oleh akal pikiran, namun terasa amat indahnya. Keindahan yang juga tidak dapat dikenal oleh akal pikiran, atau lebih tepat disebut kebahagiaan.
Lalu tiba-tiba Sang Empu mengerutkan alisnya. Dia melihat atau lebih tepat merasakan angkara murka dan segala macam nafsu daya rendah berdatangan, bagaikan raksasa-raksasa dalam pewayangan, mengamuk dan mengacau tempat itu sehingga dia melihat kegelapan, kilat menyambar-nyambar, awan gelap menyelubungi dan menutupi semua keindahan atau kebahagiaan itu.
Menuruti nalurinya Empu Bharada segera berdoa, setelah dia merasa tidak kuasa melawan gerombolan raksasa itu. Terjadilah, duh Gusti, segala kehendak Paduka Empu Bharada membuka kedua matanya. Laki-laki setengah tua itu berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya cukup tampan dengan jenggot panjang hitam, matanya agak cekung dengan sinar yang lembut namun penuh wibawa, mulutnya selalu terhias senyum simpul membayangkan kesabaran dan pengertian. Tubuhnya tinggi agak kurus.
Pakaiannya sederhana saja, serba hitam. Empu Bharada ini merupakan seorang tokoh yang terkenal dan dihormati semua orang di kota raja Kahuripan.
Bahkan Sang Prabu Erlangga dan semua ponggawa Kahuripan menghormatinya. Biarpun tidak menduduki jabatan apa pun karena dia tidak mau terikat oleh jabatan, Empu Bharada merupakan seorang yang selalu dimintai nasihat oleh Sang Prabu Erlangga apabila kerajaan menghadapi persoalan yang rumit. Empu Bharada tak dapat melupakan cahaya putih yang mengusir semua kegelapan tadi. Dia mengangguk-angguk. Lalu dia mengerutkan alisnya dan berbisik, "Nurseta?
Dia tidak boleh membuka hal-hal yang belum terjadi kepada siapa pun juga. Kehendak dan rencana Sang Hyang Widhi Wasa harus tetap menjadi rahasia bagi manusia yang tidak berhak mengungkap atau mengetahuinya. Empu Bharada lalu bangkit dan keluar dari sanggar pamujan, memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan untuk membiarkan tubuhnya tidur, beristirahat.
Pemuda itu berjalan tergesa-gesa. Dia seorang pemuda yang masih muda, usianya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya tampan, dengan mata lebar dan hidung mancung, mulutnya tersenyum mengejek. Tubuhnya tinggi tegap sehingga dia tampak gagah. Pakaiannya mewah dan dia seorang pemuda pesolek. Sepasang matanya lincah dan terkadang mencorong tajam. Akan tetapi pada saat itu, wajah yang tampan itu tampak muram, bahkan kedua matanya agak kemerahan, tanda bahwa pemuda itu menderita kelelahan lahir batin.
Sebagai murid Resi Bajrasakti, Lingga jaya telah menguasai ilmu-ilmu yang ampuh, menjadi sakti dan dia sudah diangkat sebagai seorang senopati muda di Kerajaan Wengker dan mendapatkan nama pangkat Linggawijaya.
Senopati muda Linggawijaya! Akan tetapi kini hatinya kesal sehingga wajahnya tampak murung. Dia merasa penasaran, kecewa dan marah sekali. Tapi persekutuan itu gagal menguasai Kahuripan, gagal menjatuhkan Sang Prabu Erlangga.
Kedudukan Sang Prabu Erlangga terlampau kuat dengan bantuan patihnya yang digdaya, yaitu Ki Patih Narotama dan banyak satria yang gagah perkasa dan sakti. Usaha persekutuan itu gagal, bahkan mereka dipukul cerai-berai, banyak yang tewas dan sisanya melarikan diri, termasuk dia.
Dia harus melarikan diri, kembali ke Kerajaan Wengker. Akan tetapi dia ingin singgah dulu di dusun Karang Tirta, kampong halamannya di mana ayahnya, Ki Suramenggala, menjadi Lurah Karang Tirta. Segala keindahan yang terbentang luas di sekitarnya ketika dia melakukan perjalanan dari Kahuripan ke Karang Tirta itu sama sekali tidak nampak olehnya. Bahkan segala yang indah tampak buruk membosankan bagi Linggajaya yang hatinya sedang murung dan kesal. Indahnnya penglihatan, merdunya pendengaran, segala hal yang menggembirakan hanya dapat terasa oleh hati yang bahagia.
Segala sesuatu serba indah dan mengenakkan. Namun, apabila hati sedang murung, apa pun juga terasa hampa dan tidak enak, tidak menyenangkan. Mulut tersenyum berubah cemberut, mata bersinar berubah keruh, wajah berseri berubah suram muram.
Agar kekesalan hatinya terlupakan, Linggajaya atau Senopati Linggawijaya mengerahkan ilmunya lalu berlari cepat. Tubuhnya meluncur cepat sekali seperti larinya seekor kijang menuju ke dusun Karang Tirta. Dia telah menjadi senopati muda di Wengker. Untuk apa ayahnya menjadi lurah yang dibawahi Kahuripan? Dia akan memboyong keluarga ayahnya ke Wengker agar ikut menikmati kemuliaan yang diperolehnya di kerajaan itu.
Ketika dia memasuki dusun, beberapa orang dusun bertemu dengan dia. Akan tetapi Linggajaya melihat betapa mereka itu, lelaki mau pun perempuan, hanya memandangnya sepintas lalu membuang muka, seolah tidak mengenalnya atau tidak mempedulikannya.
Dia merasa heran bukan main. Padahal, semua penduduk Karang tirta tahu belaka siapa dia! Setelah dewasa dia pernah pulang ke dusun ini dan semua orang menghormatinya karena selain dia putera Ki Lurah Suramenggala, juga semua orang tahu bahwa dia seorang yang sakti mandraguna.
Dahulu, semua orang menghormat dan takut kepadanya, mencari muka, apa lagi para gadisnya, bersaing untuk merebut perhatiannya. Akan tetapi kenapa sekarang mereka semua memalingkan muka darinya.
Bahkan ketika ada beberapa orang perawan dusun melihatnya, mereka membalikkan tubuh dan pergi menjajahnya! Karena merasa heran, juga penasaran, dia lalu mempercepat langkahnya dan mengejar seorang laki-laki setengah tua. Dia menangkap lengan orang itu kemudian dengan kasar menariknya sehingga orang itu hampir saja terpelanting.
Ketika orang itu memandang dan mengenalnya, wajahnya berubah pucat dan matanya membayangkan ketakutan. Orang itu menjawab dengan gagap. Denmas adalah Denmas Linggajaya Mengapa mereka tidak mau memandangku? Saya ada beberapa buku nih! Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kan tokohnya pangeran dari kerajaan Karang Setra, yang akhirnya jadi Raja Karang Setra terus setelah dia merebut kembali tahtanya dia tetap memilih mengembara bersama kekasihnya yang bernama Pandan Wangi.
Dalam pengembaraannya di dilatih juga ama teman sang guru Pendekar Naga Senjatanya Pedang Rajawali sakti. Musuh utamanya Gordapala kalo gak salah Tokoh gol hitam beberapa ratus tahun yang lalu yang dapat hidup kembali dengan binatang tunggangannya kuda hitam yang dapat mengeluarkan api dari mulutnya. Ciri-ciri nya : tampan, dan selalu menggunakan pakaian rompi putih dan memanggul pedang rajawali sakti.
Selain tunggangannya adalah burung rajawali maka tunggangan lainnya adalah kuda. Itu saja informasi yang saya ketahui. Saya ada beberapa buku kang. Mohon maaf blom bisa menulis nih! Kirim ke mana yah? NB: Kayaknya bisa digambarkan ama bang Siray nih pedangnya keren banget!!!
View bbcode of DW's post. Pedang Bintang Dewi Penyebar Maut Cinta Sang Pendekar Raksasa Rimba Neraka Banjir Darah Di Bojong Gading Prahara Hutan Bandan Rahasia Surat Berdarah Penganut Ilmu Hitam Pendekar Tangan Baja Tiga macan Lembah Neraka Memburu Puteri Datuk Jamur Sisik Naga Peninggalan Iblis Hitam Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar Tinju Penggetar Bumi Pewaris Ilmu Tokoh Sesat Keris Peminum Darah Kelelawar Beracun Perjalanan Menantang Maut Pelarian Istana Hantu Denda Tokoh Buangan Maut Dari Hutan Rangkong Setan Mabuk Pertarungan Raja-Raja Arak Penghuni Lembah Malaikat Hamba menghaturkan banyak terima kasih dan hamba merasa berbahagia sekali atas kemurahan hati Paduka kepada hamba.
Akan tetapi, Gusti, pada waktu ini hamba masih ingin bebas dari semua ikatan. Hamba ingin merasakan kebahagiaan hidup berkumpul dengan kedua orang tua hamba, hal yang sejak kecil hamba rindukan. Walau pun hamba tidak menjadi seorang punggawa, namun setiap saat hamba siap membela kerajaan Paduka apabila ada pihak yang mengganggu, Gusti. Baiklah, kami pasti akan menghubungimu apabila kami membutuhkan bantuan.
Sekarang terimalah hadiah dari kami ini. Pusaka ini, selain ampuh dan memiliki daya pelindung dan penyembuhan, juga dengan memegang pusaka ini Andika dapat memasuki istana kami sewaktu-waktu sebagai seorang kepercayaan kami, Puspa Dewi. Ia berlutut menyembah, menerima pusaka berbentuk patrem atau cundrik itu sambil menghaturkan banyak terima kasih. Setelah menerima hadiah lain berupa beberapa perangkat pakaian berikut perhiasan yang serba indah, Puspa Dewi diperkenankan mundur bersama Tumenggung Jayatanu, sedangkan Ki Patih Narotama masih tinggal di istana untuk berbincang-bincang dengan Sang Prabu Erlangga.
Dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Puspa Dewi.
0コメント